1. Air Zamzam
Air
Zamzam adalah air yang keluar dari mata air zamzam yang terletak
disamping ka’bah (sekitar 38 zira`/hasta dari ka’bah). Sejarah Mata air
itu muncul pertama kali ketika istri nabi Ibrahim dan bayinya Ismail
sedang kelaparan dan kehausan di tengah padang pasir luas yang tidak ada
tumbuhan dan kehidupan. Rasulullah SAW bersabda, ”Seandainya ibu kalian (Hajar) tidak membendungnya, pastilah kota Mekkah itu banjir dengan airnya.”
Sejak munculnya mata air itu, mulailah tempat itu menjadi ramai
disinggahi para pelindas gurun pasir dan akhirnya menjadi kota Mekkah.
Ternyata di tempat itu pula dahulu para malaikat pernah membangun Ka’bah
sebagai rumah pertama di muka bumi tempat untuk beribadah kepada Allah
SWT. Para malaikat itu membangun jauh sebelum nabi Adam diturunkan
kemuka bumi ini.
Oleh
sebagaian sejarawan, sekian ribu tahun kemudian ka’bah hilang akibat
ditelan banjir di zaman nabi Nuh as. Barulah di zaman nabi Ibarahim,
Allah SWT memerintahkannya membangun kembali Ka’bah di atas pondasinya
dahulu. Dan sejak itu jadilah tempat itu sebagai tempat yang paling
sering dikunjungi manusia selama berabad-abad. Dan mula pertama
penghidupan kembali tempat ini adalah dengan munculnya mata air zamzam.
Nama lain Mata air Zamzam. Mata air zamzam ini punya banyak nama lain,
diantaranya adalah: Thayyibah, Barrah, Madhnunah, Barokah, Hafiratu
Abdil Muttalib dan Siqiyallahu Ismail. Sedangkan di masa jahiliyah
dinamakan dengan Syubaa’ah.
Hukum Meminum Air Zamzam
Para
ulama di kalangan jumhur sepakat bahwa disunnahkan bagi para haji dan
mu’tamar untuk meminum air zamzam. Karena hal itulah yang dikerjakan
oleh Rasulullah SAW ketika berhaji. Bahkan dusunnahkan untuk
banyak-banyak meminumnya. Dalilnya adalah hadits Rasulullah SAW: “Sesungguhnya (air zamzam) itu diberkahi. Karena air itu makanan yang mengenyangkan.”
(HR. Muslim) Sedangkan Asy-Syafi'iyah menyunnahkan meminum air zamzam
dalam setiap kesempatan, bukan hanya bagi orang yang haji atau umrah
saja.
Adapun
yang berkaitan dengan keterangan bahwa air zamzam itu bisa menyembuhkan
penyakit, ada hadits yang tidak mencapai shahih yang menerangkannya.
Misalnya hadits berikut: “Sesungguhnya (air zamzam) itu diberkahi. Karena air itu makanan yang mengenyangkan dan penyembuh dari penyakit.” (HR. Abu Daud At-Thayalisi) Dari Ibni Abbas ra bahwa Rasulullah SAW bersabda, ”Sebaik-baik
air di atas bumi ini adalah air zamzam. Karena air zamzam itu adalah
makanan yang mengenyangkan dan penyembuh dari penyakit.” (HR. At-Thabarani).
Namun
ada juga kalangan tertentu dari ulama yang memiliki persepsi berbeda
tentang air zamzam yang berkhasiat menyembuhkan penyakit. Hal itu
lantaran bahwa semua hadits tentang air zamzam bisa menyembuhkan
penyakit bukanlah hadits yang kuat sanadnya. Karena hadits-hadits yang
menyebutkan bahwa air zamzam itu penyembuh penyakit tidak terdapat dalam
hadits shahih Bukhari atau shahih Muslim. Bahkan kutubssittah pun (6
kitab hadits yang mu’tamad) sama sekali tidak menyebutkan lafaz itu.
Sehingga dari sisi tsubut, hadits-hadits itu dianggap tidak
qath’iyyust-tsubut. Seperti yang ditulis oleh Al-Qaradawi di dalam
Fatawa Mu’ashirah jilid 2 hal. 459. Yang jelas-jelas shahihnya justru
tidak terkait dengan urusan menyembuhkan penyakit, tetapi masalah
dibelahnya dada Rasulullah SAW dan dicuci hatinya dengan air zamzam
sebelum dimi’rajkan ke langit. Hadits ini ada dalam shahih Bukhari.
Namun
perlu kita mafhumi bahwa setiap mujtahid berhak untuk berijtihad dan
bila ijtihadnya benar dia akan mendapat dua pahala dan bila salah dia
hanya mendapat satu pahala saja. Dan bahwa perbedaan pendapat di
kalangan ulama bukanlah hal yang tabu atau haram. Karena perbedaan itu
justru menjadi rahmat serta memberi khazanah yang besar dalam
perbendaharaan ulumul Islam.
Hukum Menjual Air Zamzam
Sedangkan
hukum menjual air zamzam hukumnya boleh, bukan semata-mata menjual
airnya, tapi sebagai ganti ongkos pengangkutannya atau pengemasannya.
Bahkan kalangan Al-Hanafiyah, Al-Malikiyah dan Asy-Syafi'iyah mengatakan
bahwa disukai bila seseorang mendapatkan pemasukan dari mengantarkan
atau membawa air zamzam ke tempat yang jauh untuk dimanfaatkan oleh
orang-orang, baik untuk keberkahan atau untuk menyembuhan.
2. Imam di Masjidil Haram
Di
dalam shalat jamaah memang ada ketentuan bahwa posisi imam harus di
depan dan makmum harus di belakang, atau minimal sejajar dengan posisi
makmum sedikit di belakang imam. Dan untuk itu sering digunakan garis
shaf sebagai tanda, bila dia melanggar garis itu, maka maknanya dia
shalat bukan di posisi yang benar. Peranan garis itu sebenarnya adalah
tanda yang menolong masalah posisi imam dan makmum. Bahkan bukan sekedar
itu, tapi juga menjadi batas boleh tidaknya seseorang melintas di depan
orang shalat. Bila Anda sering melihat seseorang shalat menghadap
tembok atau tiang, maka batas bolehnya melintas adalah tiang atau tembok
itu. Bila dia menggunakan benda seperti tas, tongkat atau lainnya, maka
batas boleh melintasnya adalah benda itu.
Namun
ketika garis atau tanda ini diterapkan di masjidil haram, maka tidak
lagi menjadi garis lurus tapi garis melingkar. Yang menjadi patokan
adalah garisnya dan bukan berapa perbandingan antara jarak imam dengan
ka’bah atau makmum dengan ka’bah. Yang menentukan adalah bahwa imam
posisinya di depan garis dan makmum di belakang garis. Bahwa ka’bah
tidak menjadi titik tengah lingkaran garis itu tidak menjadi masalah.
Sehingga pemandangan yang Anda lihat bahwa posisi makmum sepertinya ada
di depan imam memang sangat boleh jadi. Padahal, bila kita merunut
kepada garisnya, maka meski jarak antara imam dengan ka’bah itu lebih
jauh dari pada makmum, namun posisi imam tetap berada di depan garis
sedangkan makmum tetap di belakang garis. Sehingga shalat jamaah itu
tetap syah.
Hadaanallahu Wa Iyyakum Ajma`in, Wallahu A`lam Bish-shawab, Wassalamu `Alaikum Warahmatullahi Wa Barakatuh.
http://www.syariahonline.com/v2/masalah-umum/2364-sejarah-air-zam-zam-dan-imam-masjidil-haram.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar